Kisruh Muktamar PPP Harus Dikembalikan ke Semangat Fusi 1973

Ketua Umum PPP terpilih Agus Suparmanto (ketiga kiri) didampingi Ketua Majelis Pertimbangan Partai Muhammad Romahurmuziy (tengah) memberikan keterangan pers pada acara Tasyakuran Muktamar X PPP di kawasan Ancol, Jakarta, Minggu (28/9/2025). Foto: Antara

Jakarta – Pelaksanaan Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Sabtu, 27 September 2025, berakhir dengan kericuhan. Dua kandidat, yakni Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim sebagai ketua umum terpilih. Situasi ini menimbulkan keprihatinan mendalam, tidak hanya bagi kader dan simpatisan PPP, tetapi juga bagi umat Islam Indonesia secara umum. Rasa prihatin serupa disampaikan oleh para pengurus Eksponen Fusi 1973 yang menilai partai berlambang Kabah itu harus segera diselamatkan.

Ketua Umum Parmusi sekaligus calon ketua umum PPP, Prof. Husnan Bey Fananie, menegaskan bahwa konflik yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari hilangnya semangat awal PPP. Menurutnya, jalan keluar hanya bisa ditemukan dengan mengembalikan partai kepada akar sejarahnya, yakni fusi politik Islam tahun 1973 yang menyatukan Parmusi, NU, Perti, dan Sarekat Islam.

Hal senada disampaikan Ketua Umum Perti, Anwar Sanusi. Ia mengingatkan bahwa kelahiran PPP berawal dari tekad menyatukan kekuatan politik umat Islam yang sebelumnya terpecah dalam empat partai: NU, Parmusi, PSII, dan Perti. “Semangat penyatuan itu kini harus kembali menjadi pijakan, bukan justru terpecah karena ambisi individu atau kepentingan politik jangka pendek,” ujarnya.

Imam Cokroaminoto, pengurus Sarekat Islam sekaligus cucu HOS Cokroaminoto, juga menegaskan pentingnya kembali pada khittah. “PPP ini bukan milik satu orang, bukan pula milik segelintir elite. PPP lahir dari fusi tahun 1973 sebagai rumah besar umat. Jika ada kisruh, maka jalan keluarnya adalah kembali ke eksponen fusi tersebut. Itu berarti kita harus meneguhkan persatuan, integritas, dan khittah perjuangan partai,” tegasnya.

Sementara itu, Irene Rusli Halil, putri pendiri Perti, menyoroti pelaksanaan Muktamar X yang menurutnya telah merugikan para muktamirin. “Kasihan para muktamirin ini telah dizolimi,” ungkap wanita yang akrab disapa Mbak Iren.

Atas kondisi tersebut, Eksponen Fusi 1973 sepakat meminta Menteri Hukum dan HAM untuk tidak mengesahkan hasil muktamar, karena dianggap cacat hukum dan melanggar AD/ART partai. Mereka juga mendesak kedua kandidat untuk tidak memaksakan diri mengklaim kursi ketua umum.

Dari perspektif akademisi, Assoc. Prof TB Massa Djafar mengingatkan bahaya politik transaksional yang membelenggu PPP. Ia menyebut praktik money politics, broker politik, hingga model kleptokrasi sebagai penyebab utama kemunduran partai. “Kalau PPP ingin bangkit, kembali pada spirit Fusi 1973: menguatkan kembali representasi politik umat Islam, pelembagaan dan mekanisme musyawarah mufakat, serta checks and balances internal partai,” jelasnya.

Prof. Husnan juga menyoroti bahwa muktamar kali ini tidak memberikan ruang bagi kader-kader partai untuk maju sebagai calon ketua umum. Ia pun menyerukan agar forum tersebut dijadikan momentum kebangkitan, dengan menghidupkan kembali semangat persatuan yang diwariskan para pendiri melalui fusi 1973.

“Tragedi muktamar yang telah mencoreng wajah PPP, saya sebagai elemen fusi menyampaikan permohonan maaf kepada rakyat, khususnya kepada umat Islam, pendukung, pemilih PPP. Kita harus menyelamatkan PPP dari praktek politik tak terpuji, semakin jauh dari prinsip moral ajaran Islam, hanya karena ambisi pribadi, meruntuhkan PPP sebagai rumah besar politik umat Islam,” pungkas Husnan.

Pos terkait