Jakarta – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut didaftarkan satu hari sebelum ia dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara dalam perkara suap terkait kasus Harun Masiku, tepatnya pada Jumat 25 Juli 2025.
“Kami daftarkan itu hari Kamis ya (24/7/2025), Kamis malam jadi sebelum ada putusan,” jelas kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, saat dikonfirmasi via telepon pada Senin (28/7/2025).
Maqdir menyebutkan bahwa permohonan uji materi diajukan karena menurut pihaknya, ancaman pidana dalam Pasal 21 justru lebih berat dibandingkan dengan ketentuan tindak pidana korupsi lainnya dalam undang-undang yang sama.
“Nah itu-itu kan enggak proporsional menurut hemat kami,” ujarnya.
Dalam petitum permohonan yang disampaikan ke MK, Hasto meminta agar ketentuan pidana dalam Pasal 21 bisa diubah, dari minimal tiga tahun menjadi maksimal tiga tahun penjara. Selain itu, Hasto juga meminta MK menyatakan frasa dalam pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai secara kumulatif.
“Menyatakan frasa ‘penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan’ dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi… bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa frasa tersebut memiliki arti kumulatif…” demikian bunyi salah satu petitum yang diajukan.
Dalam perkara suap Harun Masiku, Hasto juga didakwa melakukan perintangan penyidikan. Namun, pada persidangan putusan yang berlangsung Jumat (25/7/2025), majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Hasto tidak terbukti menghalangi proses penyidikan.
Anggota majelis hakim, Sunoto, menyampaikan bahwa majelis sependapat dengan ahli hukum pidana Khairul Huda dan Mahrus Ali yang menilai Pasal 21 merupakan delik materiil, sehingga harus ada bukti nyata kegagalan penyidikan, penuntutan, atau persidangan sebagai akibat dari tindakan terdakwa.
“Namun dalam perkara ini tidak terbukti adanya kegagalan penyidikan karena faktanya penyidikan terhadap Harun Masiku tetap berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku,” jelas Sunoto.
Fakta persidangan menunjukkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap melanjutkan penyidikan perkara Harun, yang dibuktikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) pada 9 Januari 2020, yang menetapkan sejumlah tersangka terkait kasus tersebut.
Meski demikian, hakim tetap menjatuhkan vonis 3,5 tahun penjara terhadap Hasto karena dinilai terbukti memberikan suap. Ia diketahui menyediakan dana sebesar Rp400 juta untuk menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, agar Harun Masiku bisa masuk ke DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).