KPK: LNG Impor Tak Pernah Masuk RI, Nilai Kontrak Capai USD 12 Miliar

Gedung KPK
Logo KPK di Gedung Merah Putih.

Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) yang dibeli oleh PT Pertamina dalam kontrak pengadaan jangka panjang ternyata tidak pernah masuk ke Indonesia. Hal ini disampaikan saat KPK mengumumkan penahanan dua tersangka baru dalam kasus korupsi terkait pengadaan LNG.

“Faktanya, LNG yang diimpor tersebut tidak pernah masuk ke Indonesia hingga saat ini, dan harganya lebih mahal daripada produk gas di Indonesia,” ungkap Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 31 Juli 2025.

Bacaan Lainnya

Dalam perkara pengadaan LNG periode 2013–2020 ini, total ada tiga tersangka. Yang pertama adalah Karen Agustiawan, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina pada 2009 hingga 2014.

Sementara dua tersangka lainnya, yang baru saja diumumkan penahanannya, adalah Hari Karyuliarto (HK), mantan Direktur Gas Pertamina periode 2012–2014, serta Yenni Andayani (YA), yang menjabat sebagai Senior Vice President Gas and Power Pertamina pada 2013–2014, dan kemudian menjadi Direktur Gas Pertamina pada 2015–2018.

LNG tersebut dibeli dari perusahaan asal Amerika Serikat, Corpus Christi Liquefaction, anak usaha dari Cheniere Energy Inc. Kontrak pembelian dilakukan dalam dua tahap, masing-masing pada 2013 dan 2014, yang kemudian digabungkan menjadi satu kontrak pada tahun 2015.

Perjanjian tersebut memiliki jangka waktu 20 tahun, dengan rencana pengiriman dari 2019 hingga 2039.

“Dengan total nilai kontrak sekitar kurang lebih USD 12 miliar,” ujar Asep.

Diketahui bahwa Hari dan Yenni menyetujui pengadaan LNG ini tanpa mengikuti prosedur atau pedoman yang berlaku. Mereka juga mengeluarkan izin prinsip tanpa dilengkapi dasar pertimbangan yang memadai, baik dari sisi teknis maupun ekonomi.

“Pembelian LNG tersebut juga tanpa adanya ‘back to back’ kontrak di Indonesia atau dengan pihak lain sehingga LNG yang diimpor tersebut tidak punya kepastian pembeli dan pemakainya,” terang Asep.

Selain itu, transaksi tersebut dilakukan tanpa adanya izin atau rekomendasi resmi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang seharusnya menjadi syarat dalam pengadaan energi.

Atas perbuatan mereka, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pos terkait