Adopsi AI di Indonesia Melonjak, tapi Mayoritas Tenaga Kerja Masih Berpendidikan Rendah

Ilustrasi: Seorang pencari kerja tengah menyiapkan dokumen untuk melamar pekerjaan. Foto: Antara

Jakarta – Lanskap ketenagakerjaan dan teknologi di Indonesia tengah menghadapi paradoks. Di satu sisi, mayoritas pekerja di negeri ini masih berpendidikan menengah pertama ke bawah. Namun di sisi lain, tingkat adopsi kecerdasan buatan (AI) justru melesat pesat, bahkan melampaui rata-rata kawasan Asia Pasifik.

Dirjen Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Edwin Hidayat Abdullah, menyoroti fenomena ini dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (16/9/2025). Ia menyebut, sebanyak 80 persen tenaga kerja terampil di Indonesia telah menggunakan generative AI. Angka ini berada di atas rata-rata global (75 persen) maupun Asia Pasifik (80 persen).

Bacaan Lainnya

“Ada sedikit cerita bahwa Indonesia ini secara demografi, yang lulus SMP ke atas itu 43%. Ranking talent digital kita ranking 40-an. Tapi kecepatan kita dalam melakukan adopsi AI luar biasa. Kita itu top 10 di dunia, ya, dan di Indonesia, 80% Indonesia menyatakan bahwa AI akan membawa manfaat dan kerugian. Itu lebih tinggi dari negara-negara maju,” ujar Edwin.

Pesatnya perkembangan ini sejalan dengan penetrasi internet nasional yang kini sudah mencakup sekitar 80 persen dari populasi.

Tantangan Besar: Kesenjangan Keterampilan

Meski demikian, data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap realitas lain. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi lulusan pendidikan dasar. Berdasarkan Sakernas Februari 2025, sekitar 35–40 persen pekerja hanya berpendidikan SD ke bawah. Jika digabung dengan lulusan SMP, jumlahnya menjadi mayoritas dari total angkatan kerja.

Fenomena tersebut menunjukkan jurang keterampilan yang kian lebar. Di satu sisi, ada kelompok tenaga kerja terampil yang sigap mengadopsi AI. Namun, sebagian besar pekerja dengan pendidikan rendah berisiko tertinggal, bahkan tergeser oleh otomasi.

Menjembatani Jurang Digital

Pemerintah mengakui tantangan ini. Melalui program literasi digital dan pengembangan talenta, Komdigi berupaya mempersempit kesenjangan. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menegaskan bahwa Indonesia perlu menyiapkan SDM yang tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga mampu menjadi aktor penting dalam ekosistem teknologi global.

“Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Peta Jalan AI dan juga rencana pembuatan Peraturan Presiden untuk adopsi teknologi ini dalam kaitan pengembangan dan penggunaannya di berbagai sektor,” ujar Nezar.

Pengamat menilai, tingginya adopsi AI di kalangan profesional merupakan modal awal yang baik. Namun tantangan sesungguhnya adalah bagaimana memastikan bonus demografi Indonesia tidak terjebak dalam middle-skill trap—di mana sebagian besar angkatan kerja tidak memiliki kompetensi sesuai kebutuhan industri berbasis teknologi.

Peningkatan kualitas pendidikan vokasi serta program reskilling dan upskilling dinilai sebagai kunci agar ironi digital ini bisa diubah menjadi kekuatan ekonomi yang inklusif.

Pos terkait