Jakarta – Isu ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke publik. Kali ini, ahli telematika Roy Suryo bersama dokter Tifauzia Tyassuma dan sejumlah rekannya mendatangi Gedung DPR RI di Senayan, Jakarta, Selasa 9 September 2025.
Mereka bukan sekadar berkunjung, melainkan mengajukan permohonan audiensi atau Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait dugaan kejanggalan ijazah dua pejabat negara tersebut.
“Permintaan untuk melakukan audiensi atau bahkan mungkin kalau bisa RDP, rapat dengar pendapat tentang temuan-temuan soal pendidikan dan soal hukum,” ujar Roy Suryo di Kompleks Parlemen.
Roy mengklaim membawa bukti baru terkait dugaan ijazah palsu Jokowi. Ia bahkan telah menulis temuan itu dalam sebuah buku setebal 700 halaman berjudul “Jokowi’s White Paper” yang disebutnya berisi fakta-fakta ilmiah.
“Saya memandang perlu, teman-teman wakil rakyat dan juga media, itu mengetahui isi buku itu,” tegasnya.
Tak hanya Jokowi, Roy juga menyoroti riwayat pendidikan Gibran. Menurutnya, terdapat kejanggalan dalam perjalanan akademik putra sulung Presiden tersebut. Roy menyebut Gibran hanya menempuh pendidikan dua tahun di Orchard Road Secondary School, Singapura, sebelum melanjutkan ke Management Development Institute of Singapore (MDIS).
“Itu sempat carut marut karena katanya lulus 2007, ada yang bilang lulus 2010, terus dia katanya meneruskan,” tutur Roy.
Puncaknya, Roy mempersoalkan klaim Gibran lulus S2 di University Technology of Sydney (UTS). Setelah ditelusuri, kata dia, muncul SK penyetaraan yang justru menyebut ijazah dari UTS tersebut hanya setara ijazah SMA dan anehnya terbit pada 2006.
“Ini kan aneh. Dan tahunnya adalah 2006. Berarti ini ada ketidakbenaran dalam itu indikasinya ada ketidakbenaran dalam riwayat pendidikan dari Wakil Presiden kita,” ucapnya.
Roy pun mendesak konfirmasi dari Ditjen Dikdasmen mengenai dasar penyetaraan ijazah tersebut. “Dasarnya dari mana?” tanyanya.
Meski begitu, Roy mengaku masih menunggu kepastian apakah DPR akan menerima langsung permohonan audiensi mereka.
“Diterimanya kami belum tahu, ini lagi dikonfirmasi. Karena secara lisan kami sudah diterima, cuma kan secara patut dan secara layak surat itu kan harus diterima secara fisik,” jelasnya.
Menurut Roy, pihaknya sengaja menyampaikan surat langsung agar menunjukkan keseriusan.
“Bisa saja sebenarnya kami mengirimkan surat itu, by pos atau by apa, tapi akan lebih enak, dan akan lebih afdhol, dan akan lebih sopan kalau kami sendiri yang kemudian menyampaikan, jadi keseriusan kami, niat kami untuk membantu bila mana Komisi yang merupakan, Komisi X dan Komisi III, yang merupakan mitra dari institusi pendidikan dan juga hukum di Indonesia ini, memerlukan nanti untuk ke depan,” pungkasnya.