Jakarta – Seorang warga negara Indonesia bernama Subhan secara resmi mengajukan gugatan perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Subhan mempersoalkan keabsahan ijazah SMA milik Gibran dalam pencalonannya sebagai cawapres pada Pemilu 2024.
Sidang perdana perkara tersebut digelar pada Senin, 8 September 2025, dengan nomor registrasi 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. Majelis hakim yang menyidangkan kasus ini diketuai oleh Budi Prayitno, dengan hakim anggota Abdul Latip dan Arlen Veronica.
Dalam gugatannya, Subhan menempatkan Gibran sebagai Tergugat I, dan KPU RI sebagai Tergugat II. Ia meminta agar pengadilan menyatakan Gibran tidak sah menjabat sebagai Wakil Presiden RI periode 2024–2029, karena dinilai tidak memenuhi syarat pendidikan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Menurut Subhan, Gibran tidak menempuh pendidikan menengah atas (SMA/sederajat) di institusi yang sesuai dengan hukum pendidikan nasional. Karena itu, ia menilai pencalonan Gibran sebagai cawapres pada Pilpres 2024 cacat hukum.
Selain itu, Subhan juga menuntut ganti rugi materiil dan imateriil sebesar Rp125 triliun, yang diminta untuk disetorkan ke kas negara. Gugatan ini menjadi sorotan karena nominal ganti rugi yang luar biasa besar dan diklaim mewakili seluruh warga negara Indonesia.
Sidang pertama ini mengagendakan pemeriksaan legal standing para pihak. Meski demikian, suasana sidang sempat memanas saat Subhan menyampaikan keberatan terhadap kehadiran Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang mewakili Gibran dalam sidang.
“Namun demikian, tergugat I tidak hadir karena saya keberatan, karena diwakili oleh jaksa pengacara negara. Makanya saya keberatan karena saya menggugat adalah pribadi, secara personel. Kejaksaan itu mewakili negara saya, tidak bisa membela dia. Makanya saya keberatan. Jaksa pengacara negara saya minta keluar dari persidangan. Itu yang paling penting. Jadi gugatan ini akan ditunda, akan disidang lagi Minggu depan,” ujar Subhan di hadapan majelis hakim.
Menanggapi hal tersebut, majelis hakim menyatakan memahami keberatan penggugat, dan menyebut bahwa kehadiran kuasa hukum Gibran dari JPN dianggap tidak sah, sehingga Tergugat I dianggap tidak hadir. Sidang kemudian ditunda hingga Senin, 15 September 2025, untuk memberi waktu perbaikan kehadiran pihak tergugat.
Petitum Gugatan
Berikut adalah tujuh poin tuntutan (petitum) yang diajukan Subhan terhadap Gibran dan KPU:
- Mengabulkan gugatan penggugat secara menyeluruh.
2.Menyatakan bahwa Tergugat I (Gibran) dan Tergugat II (KPU) telah melakukan perbuatan melawan hukum.
- Menyatakan Gibran tidak sah menjabat sebagai Wakil Presiden RI periode 2024–2029.
- Menghukum kedua tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan imateriil sebesar Rp125.000.010.000.000 (Rp125 triliun sepuluh juta rupiah) dan menyetorkannya ke kas negara.
- Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dulu meskipun ada upaya hukum lanjutan seperti banding atau kasasi (uitvoerbaar bij voorraad).
- Menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp100 juta per hari jika terlambat menjalankan putusan.
- Menghukum para tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul.
Latar Belakang Gugatan
Subhan berargumen bahwa pencalonan Gibran sebagai wakil presiden tidak memenuhi syarat pendidikan minimal lulusan SMA atau sederajat sebagaimana diatur dalam:
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 169 huruf c,
dan PKPU Nomor 19 Tahun 2023, Pasal 13 huruf r.
Subhan menduga ijazah SMA Gibran yang diperoleh dari luar negeri tidak melalui proses penyetaraan resmi untuk keperluan pencalonan pejabat publik, dan oleh karena itu cacat secara hukum.
Gugatan ini diperkirakan akan menjadi salah satu kasus hukum yang menyita perhatian publik dan media nasional, mengingat menyangkut legitimasi jabatan orang nomor dua di Indonesia.