Jakarta – Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menyerahkan salinan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 tentang kuota haji tambahan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah ini dilakukan sebagai dukungan terhadap proses hukum terkait dugaan korupsi di Kementerian Agama.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menuturkan bahwa SK tersebut sangat sulit ditemukan, padahal menjadi dokumen kunci dalam pembagian kuota haji khusus yang diduga tidak sesuai aturan.
“SK ini sulit dilacak keberadaannya, bahkan Pansus Haji DPR 2024 gagal mendapatkannya,” kata Boyamin dalam keterangan tertulis, Senin (11/8/2025).
Menurut Boyamin, SK tersebut diduga menyalahi sejumlah ketentuan, salah satunya aturan dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Haji yang menetapkan pembagian kuota 8 persen untuk haji khusus dan 92 persen untuk haji reguler. Ia menambahkan bahwa pengaturan kuota seharusnya dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Agama dan masuk dalam lembaran negara setelah memperoleh persetujuan Menteri Hukum dan HAM.
“Jadi, jelas pelanggaran jika pengaturan kuota haji hanya berbentuk Surat Keputusan Menteri Agama yang tidak perlu ditayang dalam lembaran negara dan tidak perlu persetujuan Menkumham (Pasal 9 Ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019),” tegasnya.
Ia menduga SK tersebut disusun secara tergesa-gesa oleh empat orang, yakni AD (staf khusus Menteri Agama saat itu), FL (pejabat eselon I), NS (pejabat eselon II), dan HD (pegawai setingkat eselon IV).
Salah satu dugaan penyimpangan utama yang disorot MAKI adalah pungutan liar kepada calon jemaah haji khusus kuota tambahan sebesar Rp75 juta atau setara USD 5.000. Jika dikalikan dengan jumlah kuota tambahan 9.222 orang, maka total dugaan pungli mencapai Rp691 miliar.
“Kuota haji khusus tambahan 10.000 dikurangi petugas haji 778, maka diperoleh jumlah haji khusus adalah 9.222 orang,” jelas Boyamin.
Selain itu, ia juga menyinggung dugaan mark up biaya katering dan penginapan hotel, meskipun nilai kerugian belum dapat dihitung. Boyamin mendesak DPR untuk mengusut hal ini dan meminta KPK menelusuri aliran dana, serta menerapkan ketentuan Tindak Pidana Pencucian Uang guna memaksimalkan pengembalian kerugian negara.
KPK sendiri telah meningkatkan status penyelidikan perkara kuota dan penyelenggaraan haji 2023-2024 menjadi tahap penyidikan, setelah menggelar ekspose pada Jumat, 8 Agustus 2025.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyampaikan bahwa pihaknya menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) umum dengan sangkaan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sprindik umum berarti belum ada tersangka yang ditetapkan dan identitas pihak yang bertanggung jawab akan dicari dalam proses penyidikan.
Sejumlah pejabat aktif maupun mantan pejabat Kementerian Agama serta pelaku usaha perjalanan haji dan umrah telah dimintai keterangan. Di antaranya mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief, pegawai Kemenag berinisial RFA, MAS, dan AM, pendakwah Khalid Basalamah, Sekjen DPP AMPHURI Muhammad Farid Aljawi, serta Ketua Umum Kesthuri Asrul Aziz.
Yaqut sendiri menjalani klarifikasi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Kamis (7/8) selama sekitar 4 jam 45 menit. Ia masuk pukul 09.30 WIB dan keluar pukul 14.15 WIB.
“Alhamdulillah, saya berterima kasih akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mengklarifikasi segala hal, terutama yang terkait dengan pembagian kuota tambahan pada proses haji tahun 2024 yang lalu,” ujar Yaqut di Kantor KPK.