Jakarta — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan dan menahan empat orang sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi terkait perizinan tenaga kerja asing (TKA) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Keempat tersangka akan menjalani masa penahanan di rumah tahanan cabang Gedung Merah Putih KPK selama 20 hari ke depan.
“KPK melakukan penahanan terhadap empat tersangka selama 20 hari pertama mulai dari 24 Juli hingga 12 Agustus 2025,” ujar Pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu dikutip, Kamis (24/7/2025).
Keempat tersangka tersebut yakni:
1. Gatot Widiartono, Koordinator Analisis dan Pengendalian Penggunaan TKA
2. Putri Citra Wahyoe, yang menjabat sebagai Petugas Saluran Siaga dan verifikator pengesahan RPTKA di Direktorat PPTKA
3. Jamal Shodiqin, analis tata usaha sekaligus Pengantar Kerja Ahli Pertama
4. Alfa Eshad, Pengantar Kerja Ahli Muda di Kemnaker.
Asep menyatakan, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 B juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, serta dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Penahanan ini merupakan kelanjutan dari upaya penegakan hukum sebelumnya, di mana KPK lebih dulu menahan empat orang lain pada 17 Juli 2025. Mereka adalah Suhartono, mantan Dirjen Binapenta dan PKK Kemnaker periode 2020–2023; Haryanto, eks Direktur Pengendalian TKA yang kini menjabat sebagai Dirjen Binapenta dan PKK 2024–2025; Wisnu Pramono, yang memimpin Direktorat PPTKA Kemnaker pada 2017–2019; serta Devi Angraeni, pejabat Direktur PPTKA pada periode 2024–2025.
Total, delapan tersangka telah ditahan dalam perkara ini. Mereka terdiri dari pejabat eselon I dan II, serta pelaksana teknis yang diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam proses verifikasi dokumen RPTKA dengan memanfaatkan celah administratif.
Sebelumnya, Pelaksana Harian Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, menjelaskan bahwa para tersangka diduga bersekongkol untuk melakukan pemerasan dalam jabatan terhadap pihak-pihak yang mengurus dokumen RPTKA di Ditjen Binapenta dan PKK.
Menurut Budi, proses pengajuan izin TKA biasanya dilakukan oleh perusahaan agen secara online. Setelah permohonan masuk, pihak Kementerian akan memverifikasi kelengkapan dokumen yang disampaikan.
Namun, ketika dokumen dianggap belum lengkap, bukannya memberikan pemberitahuan formal seperti prosedur resmi yang berlaku, petugas justru beralih ke jalur informal dan melakukan komunikasi langsung lewat aplikasi pesan singkat seperti WhatsApp.
Melalui komunikasi tersebut, petugas meminta sejumlah uang dengan alasan mempercepat atau mempermudah proses pengajuan izin. Agen yang bersedia membayar, akan diberi informasi mengenai kelengkapan berkas dan diarahkan untuk segera melengkapinya. Sebaliknya, agen yang menolak memberikan uang justru mengalami hambatan dalam proses izinnya.
Lebih lanjut, Budi mengatakan bahwa petugas tidak memberikan kejelasan mengenai kekurangan dokumen, bahkan memperlambat proses hingga menyebabkan denda bagi tenaga kerja asing yang bersangkutan. Nilai denda yang dikenakan pun cukup tinggi, mencapai Rp1 juta per hari keterlambatan.
“Para agen tadi mau tidak mau harus memberikan uang. Kalau tidak, ya, mereka akan mendapat denda lebih besar daripada uang yang harus dikeluarkan,” jelas Budi Sukmo saat memberi keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Kamis, 5 Juni 2025.